Selasa, 25 Januari 2011

Pangan Tradisional, Alternatif Makanan Pokok

Kita tentu sepakat, jika pangan (makanan dan minuman) merupakan sesuatu yang sangat vital bagi kehidupan manusia. Tanpa pangan, tidak mungkin ada keberlangsungan kehidupan bagi manusia. Bahkan Bung Karno (Presiden pertama Republik Indonesia) pernah menyatakan bahwa hidup matinya suatu bangsa ditentukan oleh ketahanan pangan negara tersebut.
Pemャbangunan ketahanan pangan merupakan tanggung jawab bersama, baik pemerintah maupun masyarakat, yang dimulai dari tingkat rumah tangga, regional kemudian nasional. Untuk mewujudkan ketahanan pangan tersebut, salah satu upaya yang dilakukan adalah melaksanakan penganekaragaman pangan menuju konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman, serta menggali dan mengembangkan sumber-sumber pangan lokal yang ada.
Pangan tradisional mempunyai peranan strategis dalam upaya pengembangan penganekaragaman pangan di daerah untuk mendukung ketahanan pangan, karena bahan baku pangan tradisional tersedia secara spesifik lokasi. Pangan tradisional merupakan produk bercitarasa budaya tinggi yang berupa perpaduan antara kreasi mengolah hasil sumber daya lokal dengan selera berbumbu adat istiadat dan telah diwariskan secara turun temurun. Dengan demikian, pangan tradisional dapat dijadikan sarana untuk mewujudkan penganekaragaman pangan dalam memantapkan ketahanan pangan nasional. Pangan tradisional harus bisa menjadi ‘tameng’ untuk mengantisipasi adanya pergeseran lempeng pengaruh urbanisasi, globalisasi, industrialisasi, promosi dan menyeret masyarakat cenderung menyukai makanan impor dan/atau makanan siap santap.
Kecintaan akan pangan tradisional ini sebenarnya sudah dimulai sejak lama, tepatnya pada tanggal 16 Oktober 1993, dimana saat itu  Indonesia telah mencanangkan Gerakan Nasional Aku Cinta Makanan Indonesia (ACMI) oleh ibu negara Republik saat itu. Tetapi sayang gerakan ini jalannya seakan tersendat dan terseok, sangat berbeda dengan jalan pangan impor dan/atau pangan siap saji yang meluncur bagaikan roket.
Sebenarnya apakah masyarakat kita suka/cinta pangan tradisional?  Karena dari rasa suka/cinta ini kita bisa mulai untuk membuat strategi. Apakah mungkin pangan tradisional bisa menjadi alternatif pangan pokok? Pertanyaan yang cukup sederhana, tetapi menunggu jawaban yang implementatif.

A. Pangan Tradisional

Pangan lokal/tradisional adalah makanan dan minuman, termasuk makanan jajanan serta bahan campuran atau ingredients yang digunakan secara tradisional dan telah lama berkembang secara spesifik di daerah atau masyarakat Indonesia (Nuraida dan Dewanti-Hariyadi, 2001).  Selanjutnya Pangan Tradisional diolah dari resep yang telah lama dikenal oleh masyarakat setempat dengan menggunakan bahan-bahan yang diperoleh dari sumber lokal dan memiliki citarasa yang relatif sesuai dengan masyarakat setempat.
Indonesia memiliki jenis pangan lokal/tradisional yang sangat beragam, dimana hampir setiap daerah di Indonesia memiliki Pangan Tradisional yang menjadi ciri khas dari daerah tersebut.  Produk Pangan Tradisional yang terdapat di Indonesia dapat diklasifikasikan berdasarkan karakteristiknya.  Menurut Winarno dkk (1999), Pangan Tradisional dapat diklasifikasikan menjadi makanan utama, kudapan atau jajanan dan minuman.  Produk pangan lokal ini menggunakan berbagai bahan baku yang hampir semuanya merupakan bahan baku lokal seperti umbi-umbian ataupun sumber karbohidrat lain, buah-buahan, rempah-rempah, kacang-kacangan dan lain-lain.
Dari kenyataan tersebut dapat dilihat bahwa potensi pengembangan Pangan Tradisional untuk mendukung program ketahanan pangan sangat terbuka lebar terutama untuk produk pangan yang diproduksi dari bahan baku sumber karbohidrat.  Mengingat Pangan Tradisional ini telah ada sejak lama dalam suatu masyarakat di suatu daerah maka pemilihan Pangan Tradisional sebagai pendukung program ketahanan pangan sangat tepat karena tidak memerlukan tahapan pengenalan ataupun perubahan prilaku konsumsi pangan di daerah yang bersangkutan.
B. Diversifikasi Pangan Pokok
Penganekaragaman pangan merupakan salah satu komitmen pemerintah untuk membangun ketahanan pangan.  Dalam tataran kebijakan, Undang-undang No 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan bahwa pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab mewujudkan ketahanan pangan.  Pemerintah menyelenggarkan pengaturan, pembinaan, pengendalian,dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah dan mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.  Sementara itu masyarakat berperan dalam menyelenggarakan produksi dan penyediaan, perdagangan dan distribusi, serta sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang aman dan bergizi.
Ditinjau dari kondisi agroekologi, Indonesia memiliki potensi dalam pengembangan pangan pokok non-beras, akan tetapi kebanyakan pangan sumber karbohidrat tersebut selama ini masih tersisih sebagai pangan inferior.  Hal tersebut disebabkan oleh kebijakan pemerintah tentang pangan pokok yang dirasakan masih belum mendukung perkembangan IPTEK dan riset yang mampu mendorong pengembangan diversifikasi pangan pokok non-beras.  Oleh karena itu upaya penganekaragaman ini harus terus ditingkatkan dengan semaksimal mungkin memanfaatkan sumberdaya lokal dan menekan ketergantungan pada pihak/negara lain, harus berbasis kemandirian dan memberikan dampak yang positif terhadap kesejaheraan petani dan pelaku agribisnis lainnya dalam negeri dengan tujuan akhir terjadinya keragaman pola konsumsi pangan masyarakat dengan parameter Pola Pangan Harapan.
C. Pangan Tradisional Alternatif Sarapan Pagi

Hasil survei tentang Pangan Tradisional yang dilakukan di wilayah Jawa Barat, yang diwakili Kota/Kabupaten Sukabumi (mewakili daerah Pantai Selatan) dan Kabupaten Karawang (mewakili daerah Pantai Utara), setiap Kota/Kabupaten diwakili lima Kecamatan, dan setiap Kecamatan diwakili lima Desa/Kelurahan, serta setiap Desa/Kelurahan diambli 125 responden, menunjukan bahwa Pangan Tradisional secara umum sudah dikenal oleh mayoritas.  Hal ini terbukti, 100 % dari responden menjawab mereka mengenal Pangan Tradisional.
Selain mengenal Pangan Tradisional, 98 % dari responden menyatakan pernah mengkonsumsi Pangan Tradisional, dan sekitar 70 % menyatakan mengkonsumsi Pangan Tradisional setiap minggunya, serta sekitar 55 % dari responden menyatakan mengkonsumsi Pangan Tradisional saat sarapan (makan pagi).
Pangan Tradisional yang paling banyak dikenal dan dikonsumsi di Kota/Kabupaten Sukabumi menurut data survei, adalah : (1) Kue Basah (23%), (2) Gorengan (Ubi Jalar/Kayu Goreng, bala-bala, cireng, dll) (20%), (3) Kue Ali (10%), (4) Tahu (10%), dan (5) Mochi (9%).
Sedangkan Pangan Tradisional yang paling banyak dikenal dan dikonsumsi di Kabupaten Karawang menurut data survei, adalah : (1) Kue Basah (14%), (2) Kue K (13%), (3) Mie Basah (12%), (4) Combro/Misro (11%), dan (5) Serabi (11%).
D. Rekomendasi

Dilihat dari hasil survei yang sudah dilakukan serta studi pustaka, Pangan Tradisional di Wilayah Jawa Barat sudah dikenal dan biasa dikonsumsi oleh mayoritas masyarakat.  Hal ini menunjukkan bahwa Pangan Tradisional di kedua daerah tersebut bisa diterima dengan baik, dan sangat potensial untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi pangan pokok alternatif.  Hal ini terbukti dari hasil survei sekitar 55 % masyarakat sudah biasa mengkonsumsi Pangan Tradisional untuk menjadi pangan pokok, yaitu saat sarapan (makan pagi).
Jenis Pangan Tradisional yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat di kedua daerah tersebut, yaitu kue basah, mie basah, gorengan, kue K, kue ali, tahu, mochi, combro/misro, dan serabi.  Ditinjau dari jenis-jenis Pangan Tradisional tersebut, dapat dilihat bahwa bahan baku utama yang digunakan untuk membuat Pangan Tradisional tersebut adalah jenis tepung-tepungan, yaitu tepung terigu, tepung beras dan tepung sagu.  Selain itu ada juga Pangan Tradisional yang menggunakan bahan baku utama singkong, ubi jalar dan kedelai.
Berdasarkan data survei yang sudah dilakukan dan didukung studi pustaka, maka dapat direkomendasikan bahwa percepatan penganekaragaman pangan perlu melibatkan pelaku usaha kecil menengah (UKM) penghasil Pangan Tradisional.  Percepatan dapat dilakukan dengan penguatan UKM, yaitu melalui peningkatan ketersediaan bahan baku, penguatan SDM, dan dukungan sektor terkait.  Secara lebih rinci dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Penumbuhan industri penepungan yang menggunakan bahan baku lokal.  Di lihat dari sumber daya alam yang dimiliki, pengembangan industri tepung modifikasi singkong dan tepung ubi jalar sangat prosfektif dan relevan untuk dikembangkan di Jawa Barat.
2. Pengembangan industri kecil dan menengah Pangan Tradisional di wilayah Propinsi Jawa Barat, dengan cara sosialisasi lebih baik lagi tentang Pangan Tradisional, memberikan pelatihan kepada Usaha UKM dan/atau industri rumah tangga yang memproduksi Pangan Tradisional, untuk bisa meningkatkan kualitas dan kuantitas produksinya, serta diversifikasi jenis Pangan Tradisional yang bisa mereka produksi.
3. Diperlukan dukungan dari Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Daerah, pihak swasta, LSM, kalangan profesional, pers, maupun tokoh-tokoh masyarakat untuk  mendukung perkembangan IPTEK dan riset yang mampu mendorong pengembangan Pangan Tradisional.  Diharapkan Pemerintah Pusat maupun Daerah bisa memberikan/mengeluarkan kebijakan yang bisa mendukung program pengembangan pangan tradisional di wilayah Jawa Barat pada khususnya.  Kebijakan yang diharapkan diantaranya :
a. Revitalisasi pertanian ke arah lokal, yaitu pembangunan pertanian harus mengembangkan ide-ide lokal (local setting) yang muncul dalam konteks budaya setempat (culture setting) dengan diimplementasikan dengan cara-cara lokal sesuai budaya yang ada.
b. Kebijakan pemerintah untuk melindungi produk lokal, dari serangan produk luar (impor), sehingga petani dan pengusaha di Indonesia mendapat jaminan yang kuat untuk keberlangsungan usahanya dan tidak terlalu terpengaruh oleh arus globalisasi, yang sering memberikan solusi sesaat.
c. Kerjasama yang saling sinergi, saling mendukung dan saling menguntungkan, antara berbagai pihak yang terkait.  Hal ini bisa dimulai dengan pembentukan satu wadah/forum, yang terdiri dari pemerintah, swasta, kelompok profesional, LSM, pers dan tokoh-tokoh masyarakat. Wadah/Forum ini bisa mendiskusikan pelbagai masalah di seputar faktor yang dominan dan determinan menghambat terciptanya ketahanan, keterseidaan, keterjangkauan dan distribusi pangan di tingkat lokal. Faktor-faktor itu bisa berakar dari kondisi sosial masyarakat sendiri, tetapi juga bisa berasal dari persoalan ekonomi politik internasional yang muncul bersamaan dengan kapitalisme global. Pada saat negara-negara kapitalis secara sistematis sedang melakukan intervensi besar-besaran melalui berbagai macam saluran, termasuk pangan. Mereka sedang mendengungkan free market tetapi sebenarnya tidak melakukan fair market. Oleh karena itu apabila tidak disikapi dengan cermat dan hati-hati pemerintah lokal dan masyarakat pedesan bisa terjerat mengikuti kemauan para kapitalis global yang akan mengerogoti resources pedesaan.
d. Dukungan Pendanaan.  Semua pihak, terutama harus dimulai oleh  Pemerintah Daerah Jawa Barat sendiri, dengan mengalokasikan dana baik yang bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) maupun PAD untuk mendukung program-program yang terkait dengan pengembangan pangan tradisional. Pemda Jabar juga bisa meminta dukungan dana dari pemerintah pusat, serta mengajak pihak swasta baik dari wilayah Jabar maupun dari luar untuk investasi dalam pengembangan pangan tradisional.
Pustaka :
Broek.  1993 di dalam Nuraida dan Dewanti ・Hariyadi (ed). 2001.  Pangan Tradisional: Basis bagi Industri Pangan Fungsional dan Suplemen.  Pusat Kajian Makanan Tradisional.  IPB. Bogor.
Nuraida dan Dewanti ・Hariyadi (ed). 2001.  Pangan Tradisional: Basis bagi Industri Pangan Fungsional dan Suplemen.  Pusat Kajian Makanan Tradisional. IPB. Bogor.
Palmer, J.K. 1982. Carbohydrates in Sweet patato. Asia Vegetable Research and Development Center.  Shan hua, Tainan, Taiwan.
Winarno dkk (ed). 1999. Kumpulan Makanan Tradisional I.  Pusat Kajian Makanan Tradisional Perguruan Tinggi, Depdikbud.
Wiatzl, B. 1996.  Health-Promoting Effects of Phytochemicals. Proceedings of IUFost’96 Regional Symposium on Non-Nutritive Factors for Future Foods. Seoul.  Korea, October 10-11.

Penulis : Rinrin Jamrianti, Direktur PT SMEES (Small Medium Enterprise and Enpowerment Services) Indonesia, Pengamat dan Praktisi Agroindustri

1 komentar: